Ganglion dan Hippocrates
Seorang teman baik menelepon saya di suatu sore beberapa saat ketika saya akan melakukan operasi. Setelah membicarakan beberapa topik bahasan, teman saya ini tiba-tiba membelokkan perbincangan ke topik ganglion di pergelangan tangannya. Teman ini memang memiliki ganglion di ke dua sisi dorsal pergelangan tangannya sejak beberapa tahun silam. Ganglion di pergelangan tangan kanan lebih besar dan sering menimbulkan keluhan nyeri ringan dan rasa pegal. Untuk itu dia menjalani operasi untuk membuang ganglion di sebelah kanan tersebut 8 bulan yang lalu. Sayalah dokter yang melakukan operasi pada teman yang saat itu berstatus sebagai pasien. Operasi dijadwalkan pada tanggalnya setelah pasien mengetahui seluruh proses yang berjalan dengan pemahaman akan kemungkinan kekambuhan yang dapat terjadi di kemudian hari. Operasi berjalan dengan baik dan terlaksana pada lapangan operasi yang bloodless di bawah kendali turniket dan analgesia regional.
Pasien yang menjalani operasi sambil berbincang-bincang dengan dokter anestesia tersebut pulang dengan menggunakan volar splint dan pressure bandage di pergelangan tangannya. Karpalia saya imobilisasi selama 3 minggu pascaoperasi dengan kebebasan gerak sendi-sendi metakarpofalang dan interfalang. Tak ada jahitan yang perlu dibuka di kemudian hari mengingat saya menggunakan jahitan intradermal. Mobilisasi aktif asistif pergelangan tangan dimulai pada minggu kedua saat pasien mandi.
Di suatu pagi di minggu kedua pascaoperasi, pasien saya ini memutuskan untuk tidak pergi ke kantornya dengan alasan sopirnya tidak datang dan dia merasa kurang nyaman menyetir sendiri dengan splint yang melekat di pergelangan tangan kanannya. Di petang hari yang sama ketika dia tidak masuk kerja, ia menelepon saya. Suaranya di seberang sana memberi kesan suasana hatinya yang emosional. Betapa ia mengagungkan nama Tuhan dan berterima kasih atas anugerah yang ia peroleh karena selamat dari bahaya derita akibat bom teroris yang meledak di depan kedutaan besar Australia. Ruang kerjanya yang berada di samping gedung kedutaan besar tersebut hancur berantakan. Sekretarisnya menderita luka serius akibat pecahan kaca yang menembus tubuhnya. Teman yang cantik ini pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada saya yang menjadi perantara anugerah Yang Maha Agung dengan melakukan operasi padanya dan memasang splint di pergelangan tangannya. Operasi telah menyelamatkannya dari bom berdaya ledak tinggi tersebut. Ia yang semula berstatus pasien pun membawa suami dan anak-anaknya menjadi sahabat saya.
Kembali ke perbincangan melalui telepon sore itu, terkesan agak seru juga gaya berceritanya mengingat teman yang satu ini adalah wanita walaupun menyandang predikat bergengsi sebagai pelaku bisnis berjabatan tinggi. Saya katakan seru karena ceritanya diawali dengan sebuah peringatan akan keberadaan pertemanan (lebih tepatnya: kesejawatan) antar dokter yang seharusnya terjaga dengan baik. Ia merenungkan kolegialitas antar dokter yang dikunyahnya dengan pemahaman awam selama beberapa hari sebelum memutuskan menelepon saya. Perenungan singkatnya bermula ketika ia berada di rumah sakit untuk menghadiri acara sosialisasi rekanan penunjang sebuah acara Pertemuan Ilmiah Tahunan. Di saat menunggu, ia berbincang secara kebetulan dengan sejawat dokter. Singkat cerita perbincangan sampai pada parut halus di pergelangan tangan kanannya yang ditumbuhi benjolan kecil di baliknya. Ia pun bercerita bahwa operasi ganglion yang dijalaninya telah diikuti kekambuhan 6 bulan kemudian. Sejawat dokter itu secara spontan memberi respon bahwa operasi yang dialami teman saya tersebut ’tidak berlangsung dengan bersih’. Ditambahkannya pula bahwa ia dapat melakukan operasi dengan lebih baik dengan menawari teman saya itu untuk melakukan operasi ganglion di pergelangan tangan kirinya. ”Silakan dibandingkan hasilnya nanti!” kata si dokter. Teman ini pun terkejut demi mendengar ucapan si dokter. Namun ia cukup tenang untuk tidak terpancing ke perbincangan lebih dalam yang dapat menggugah upaya pencarian kebenaran lebih lanjut akan pemahaman yang dimilikinya melalui konsultasi praoperasi dengan dokter bedahnya. Ia sadar bahwa perbicangan tersebut membuka peluang baginya untuk menduga adanya malpraktik yang telah saya lakukan dengan adanya second opinion yang diungkapkan si dokter bedah yang baru dikenalnya di perbincangan informal tersebut. Ia cuma berespon saat itu bahwa ia belum merasa perlu menjalani operasi untuk ganglion sisi kanan. Selain itu ia menyampaikan bahwa ia sudah bersyukur operasinya yang lalu telah menjadi jalan penyelamatan dirinya dari bahaya bom teroris di depan kedutaan besar Australia. Ia juga sangat memercayai dokter bedahnya yang sudah menjadi teman baiknya.
Teman yang awam ini menyampaikan kepada saya nasihat kecil tentang kolegialitas, tentang kesejawatan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para dokter. ”Kami yang bekerja di bidang bisnis saja punya rasa kebersamaan dan kesejawatan yang harus kami junjung tinggi, apalagi dokter yang bekerja atas nama kemanusiaan. Dokter seharusnya tidak memiliki tendensi menjelekkan sejawatnya. Dokter selayaknya tidak bertendensi menangkap peluang ’kerjaan’ yang dapat mendatangkan uang baginya. Apakah kalian tidak memiliki pemahaman yang sama tentang kekambuhan sebuah ganglion? Apakah dokter bedah itu bisa meyakini diri sebagai jawara operasi dengan garansi hasilnya? Maaf ya dok, saya berbicara dengan pemahaman saya sebagai orang awam dan saya percaya dokter dapat memberikan yang terbaik kepada semua pasien-pasiennya.” Saya pun terkesima mendengar ucapannya yang seolah berpihak kepada saya karena hubungan dokter-pasien telah menjadi pertemanan. Namun ketika saya simak di kedalaman kalimat-kalimatnya, ia tidak sekedar bertendensi menjaga hubungan baik dengan teman. Lebih dari itu ia mampu menempatkan hubungan kesejawatan sebagai suatu nilai yang layak dijunjung tinggi. Terlebih lagi dalam kesejawatan antar dokter yang seharusnya mengacu pada the best available evidence dan sumpah Hippocrates yang meminta hubungan sejawat dalam koridor profesionalitas di tempat yang tinggi sekali: layaknya hubungan antar saudara sekandung!
Hippocrates mendifinisikan ganglion yang diambil dari bahasa Yunani sebagai masses that contain mucoid flesh.1 Ganglion yang merupakan benjolan jaringan lunak tersering pada hand masih menjadi topik yang menimbulkan perdebatan, baik tentang etiologi maupun tata laksananya. Lokasi pertumbuhannya yang berada di seputaran sendi dan selubung tendon dapat diasosiasikan dengan trauma (akibat stres berulang pada permukaan kapsul sendi dan sinoviumnya sehingga asam hyaluronat terproduksi) sebagai salah faktor penyebabnya selain tentu saja kemungkinan herniasi sinovial dan degenerasi miksoid.
Terapi untuk mengobati ganglion dapat bervariasi rupa: observasi saja (40-58%. Angka di dalam kurung ini dan selanjutnya pada kalimat ini mengindikasikan tingkat keberhasilan terapi.), aspirasi total (36-85%), aspirasi dan imobilisasi (43-52%), aspirasi dan mobilisasi dini (29-50%), operasi terbuka (60-80%), dan operasi artroskopik (90-95%).2 Dengan demikian angka kekambuhan yang timbul dengan operasi terbuka sebesar 20-40%. Situs berkredibilitas tinggi untuk EBM (Evidence Based Medicine) yang menyediakan data systematic reviews seperti Cochrane Collaboration dan National Library of Medicinetidak memiliki hasil meta-analisis terhadap hasil RCT yang membandingkan operasi terbuka dan variasi terapi lain. Setidaknya saya belajar bahwa saya harus mendalami teknik artroskopik untuk pergelangan tangan untuk memberikan hasil terbaik kepada pasien saya penderita ganglion dorsal pergelangan tangan. Sebagai pilihan lain untuk memberikan alternatif terbaik adalah dengan merujuk pasien kepada hand surgeon yang menguasai operasi artroskopik pergelangan tangan. Tentu bila pasien menyetujui tawaran terbaik tersebut.
Saya pun membaca ulang ajaran Hippocrates tentang kolegialitas. Seorang awam telah mengingatkan saya akan ajaran ’kuno’ Hippocrates yang tetap relevan di era EBM. Saya bersyukur dan mengagungkan nama Tuhan demi menyadari bahwa pasien saya tidak menuntut saya dan tetap memelihara hubungan persahabatan.
Sumber: Prasetyono TOH. Ganglion dan Hippocrates. J I Bedah Indones. 2005: 33(1): vii-viii. (Editorial)
(Dipublikasikan ulang dengan izin dari Jurnal Ilmu Bedah Indonesia)
Daftar Pustaka:
1. Carp L, Stout AP. A study of ganglion, with special reference to treatment. Surg Gynecol Obstet 1928; 47: 460-8. 2. Singh D, Osterman AL. Ganglionectomy. In: Berger RA, Weiss APC. Hand surgery.1st ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p. 669-77.