Umpan Balik dalam Pendidikan: Pendampingan Anak, Pendidikan Dasar, dan Profesi Kedokteran
Selebrasi Idul Fitri yang memenangkan selalu disertai tambahan kesibukan banyak keluarga di kota untuk mengurus rumah tangga mereka tanpa pendampingan para pembantu yang sangat besar perannya bagi kelangsungan roda aktivitas keluarga. Mereka itu, baik pembantu rumah tangga, pengasuh anak, sopir, pengurus kebun, dll, bukan hanya sekedar pembantu, melainkan pahlawan. Kepahlawanan mereka biasanya sangat dirasakan oleh banyak keluarga muda pada saat mereka meminta cuti atau berhenti bekerja di puncak Ramadhan yang penuh ghafara dan maghfira. Kondisi tersebut berulang setiap tahun.
Di pagi itu, ketika para pahlawan belum kembali dan belum ada pengganti, penulis memiliki perjanjian untuk melayani pasien. Waktu perjanjian sudah segera tiba. Setelah mendampingi aktivitas pagi anak balita dan batita bersama istri, penulis pergi mandi. Karena tidak memiliki teman pengasuh, si anak pertama minta ikut mendampingi ayahnya di luar kamar mandi, sambil menyibukkan diri dengan buku mewarnainya. Baru beberapa menit melaksanakan ritual mandi pagi, anak meminta bantuan untuk buang air kecil (b.a.k); padahal ritual mandi paginya baru saja terselesaikan dengan baik, termasuk b.a.k. Terpaksa penulis berpakaian kembali dan membantunya b.a.k di kloset. Alhasil, terkesan si anak hanya ingin perhatian tambahan setelah mengetahui b.a.k.-nya tidak signifikan. Setelah dibantu menyelesaikan bersih-bersih tubuhnya dan berpakaian kembali, penulis melanjutkan ritual mandi pagi. Namun, tidak lama berselang, sang anak kembali memanggil dan memberi tahu bahwa ia ingin buang air besar (b.a.b.). Melalui pergulatan egoisme yang berselubung emosi, penulis yang semula menduga bahwa anaknya sedang bermain-main dengan permintaan perhatian lebihnya, berhasil memastikan si anak b.a.b. dengan baik dan kembali dengan keceriaan paginya. Penulis bersyukur atas keberhasilan kecilnya untuk mengasuh dan mendampingi anak pagi itu tanpa manifestasi sikap emosional dan bahkan menghindarkan diri dari perilaku abusive dengan bersuara keras atau memarahi sang anak.
Refleksi kecil di atas dapat dipandang sebagai sebuah sukses yang besar, manakala harus dibandingkan dengan sikap sebaliknya yang agresif dan menyakitkan bagi si anak yang berdampak besar bagi perkembangan diri anak.
Kalau diminta mengingat masa pendidikan sekolah dasar di era tahun ’70-an, penulis masih memiliki ingatan segar tentang bagaimana kami di sekolah swasta yang bonafide diajari contoh berdisiplin tentang memelihara kebersihan kuku. Pada setiap periode tertentu, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan kuku tangan. Anak-anak yang memiliki kuku panjang dan kotor dapat dipastikan menerima hukuman berupaya pukulan di tangan dengan penggaris kayu. Hukuman tak dapat ditolak karena itu sudah merupakan peraturan yang disampaikan di setiap kelas. Memang ada penjelasan tentang keperluan menjaga kebersihan kuku dengan panjang yang tidak boleh melebihi ujung pulpa jari. Tetapi hukuman yang bernuansa perlakuan fisis tersebut dipandang wajib diberlakukan untuk menyadarkan anak tentang disiplin.
Ketika penulis mengingat kesempatan lain saat diganggu teman sebangku dengan sikap berisik yang bermakna mengobrol saat mengerjakan tugas, kedua diri kami dihukum. Sebagai anak kecil (dalam arti sebenarnya) penulis yang merasa sudah demikian berhati-hati merespons aksi teman sebangku, merasa diperlakukan tidak adil; walaupun hanya sanggup merasa tanpa diberi kesempatan untuk menyampaikan sanggahan. Penulis harus menerima hukuman berdiri di pojok depan kelas sambil menatap pojok dinding. Tugas terbengkalai, tertunda, hukuman (lagi-lagi bersifat fisis) pun tak dapat dielakkan….! Alih-alih mengecam masa pendidikan dasarnya, penulis kini sudah memiliki kepercayaan bahwa nasib pembelajar cilik kala kini sudah lebih baik.
Potret situasional umpan balik dalam pendidikan kedokteran yang kedaluwarsa
Sekelumit pengantar yang berupa potret tentang pendampingan anak dan pendidikan dasar tersebut di atas akan penulis bawa melompat ke pendidikan orang dewasa di dunia profesi kedokteran di tingkat klinis. (Catatan: Pendidikan kedokteran dapat secara garis besar dibagi menjadi pendidikan praklinis di masa 3 tahun pertama, ditambah dengan 2 tahun pendidikan klinis atau pendidikan profesi mengikuti kurikulum berbasis kompetensi). Lulusan pendidikan sarjana kedokteran dan profesi kedokteran tidak diperkenankan berpraktik kedokteran sebelum lulus UKDI (ujian kompetensi dokter Indonesia) yang diselenggarakan secara nasional dan menyelesaikan internship selama satu tahun di rumah sakit dan Puskesmas. Memang sebuah perjalanan panjang sebelum layak bekerja.
Kesabaran yang tergambar dalam potret asuhan anak yang membutuhkan perhatian besar orang tua di rumah justru pada saat didesak oleh sempitnya waktu yang tersedia dapat tergambar di dalam situasi pendidikan kedokteran di tingkat klinis dengan sangat analogis. Para profesional, praktisi pendidikan klinis yang juga adalah dokter umum dan para spesialis, seringkali dihadapkan pada situasi sibuk tingkat tinggi pada saat melayani pasien sekaligus diwajibkan untuk mengajar para calon dokter dan dokter spesialis. Situasi yang menegangkan pada saat melakukan prosedur kedokteran terhadap pasien dapat berpotensi memperumit kondisi pendidikan kedokteran. Anak didik “bisa”, sayangnya terpaksa, menerima potensi situasi pembelajaran yang merugikan dengan potensi tidak memperoleh pendampingan dialogis dan bahkan terkena amarah akibat ketegangan sang pendidik.
Pada saat anak didik belajar mengobservasi dan membantu (asistensi) sebuah operasi dan tidak melakukan tindak memperlancar jalannya operasi atau bahkan berbuat kekeliruan, sang pendidik bisa saja melayangkan pukulan dengan instrumen operasi ke tangan si anak didik. Sakit ringan sampai sedang bisa tak terelakkan bila tidak sanggup menghindari pukulan; proses belajar pun kehilangan nuansanya yang fasilitatif dan akomodatif. Bonus ujaran berkonotasi negatif dengan nada keras pun seringkali tak terhindarkan.
Situasi senada dapat terjadi di kelas baca jurnal, laporan jaga di unit gawat darurat, bangsal perawatan, poliklinik, dan di semua clinical setting ruang pembelajaran klinis. Tidak harus berupa buku rekam medis yang dilempar di koridor bangsal, kertas tugas dirobek-robek, tetapi makian dan sindiran maut yang sampai harus terujar bahwa anak didik dapat digantung di bawah “pohon toge”, bisa dialami oleh si anak didik.
Dampak negatif pemberian umpan balik yang abusive
Gambaran situasi pembelajaran kedokteran klinis di masa lalu yang sebagian dipercaya masih tersisa di masa kini seperti di atas tidak berbeda menyolok secara fisiologis dengan situasi di sekolah dasar yang diceritakan sebelumnya. Pukulan dan bentuk hukuman fisis yang lain adalah ujud umpan balik atas ketidakpatuhan atau sikap yang keliru, kurang tepat, atau bahkan salah. Umpan balik tersebut memang benar dapat dipandang secara positif sebagai bagian pembelajaran, dan bukannya pengajaran, untuk memastikan bahwa si anak didik tidak boleh mengulanginya karena tidak sesuai dengan norma, situasi klinis, atau penetapan diagnosis. Umpan balik itu menjadi sangat krusial manakala terdapat ketidakcocokan antara terapi dan penyakit yang secara potensial dapat dilakukan oleh anak didik yang tidak lain adalah para pembelajar muda. Namun, pemberian umpan balik dengan penyampaian abusive dapat berpotensi mengakibatkan tidak bertumbuh dan berkembangnya anak didik mengikuti kapasitas maksimal dan optimalnya. Pemberian umpan balik secara kasar dan cenderung represif tersebut dapat mengakibatkan perkembangan pribadi dan profesional anak didik terhambat.
Orang boleh mendebat pendapat di atas. Namun diskusi untuk hal umpan balik ini tidak analogis bila dibandingkan dengan kesuksesan sebuah negara yang dihasilkan dari beragam peraturan dan governance yang cenderung abusive dan represif. Beberapa contoh untuk ini bisa membawa kita kepada memori tentang cerita sukses Singapura, Cina sang negeri tirai bambu, Korea Selatan, dsb. untuk beberapa, banyak, dan berbagai sudut atau aspek kehidupan dan keberlangsungan masyarakat negara. Kondisi senada juga tidak berlaku di sini bila harus disandingkan dengan model sukses pendidikan polisi dan militer.
Para dokter yang sukses menjalankan profesinya dapat berdalih bahwa pendidikan bergaya “keras”-lah yang telah dilaluinya di masa lalu yang telah mengantarkannya mencapai sukses. Mereka yang berposisi sebagai pendidik klinis pun berpendapat sama. Hanya dengan gaya “keras” maka generasi penerus yang akan dihasilkannya adalah generasi sukses. Pertanyaannya, berapa banyak waktu dan enerji milik si anak didik yang terbuang untuk menghadapi, merespons, dan menindaklanjuti umpan balik yang abusive. Berapa lama waktu yang terbuang untuk penyampaian umpan balik yang tidak bersifat membangun dan bahkan merupakan ajang unjuk kedigdayaan sang profesional yang sudah proficient, ahli, naturalis untuk prosedur-prosedur medis sehari-hari hingga yang canggih dan langka dalam berurusan dengan anak didik yang masih novis, pemula? Untuk sekian lama pula anak didik merasa “tak berharapan”, “depresif”, karena label negatif yang dilekatkan kepada dirinya oleh sang pendidik. Berapa lama ia kehilangan waktu untuk memulihkan kepercayaan dirinya dan kesempatan untuk produktif dalam menggapai kemajuan belajarnya?
Singkat kata, para dokter profesional sukses yang berposisi sebagai pendidik tersebut bisa jauh lebih sukses dan berkiprah serta berdaulat internasional di dunia kedokteran bila di masa yang lalu tidak menjalani model pendidikan bergaya represif. Para survivor ini benar-benar tangguh hingga mencapai sukses. Namun mereka bisa tidak menyadari betapa lebih hebatnya mereka bila di masa lalu mereka menjalani pendidikan yang bersifat fasilitatif dan akomodatif secara total! Dalam keheningan mereka ada permenungan menyayangkan mengapa dulu mereka tidak memperoleh kesempatan lebih baik. Dan di berbagai kesempatan bersosialisasi bersama kolega, mereka dengan ringannya saling bercerita betapa menggelikannya (baca: buruknya) perlakuan para guru mereka di masa lalu walaupun dalam nuansa berterima kasih dan tanpa nuansa menaruh dendam. Sayangnya dengan atau tanpa disadari, mereka tidak rela bila anak didik mereka kini tidak memperoleh perlakuan yang sama kerasnya, atau bahkan melebihi apa yang pernah mereka alami. Secara naluriah, mereka dan penulis, menjadi pengajar dan pendidik yang terutama bermodalkan pengalaman bagaimana dirinya diajar dan dididik di masa lalu. Circulus vitiosus!
Umpan balik merupakan fitrah manusia
Pada gaibnya, setiap insan sangat membutuhkan umpan balik dalam keseharian aktivitasnya, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Seorang anak akan merasa bangga, berbahagia bila memperoleh pujian atas hasil karya dan kerjanya. Di sisi lain, orang tua memiliki naluri untuk secara alamiah memberikan fasilitasi agar anaknya berkembang dalam berbagai kemampuannya secara cepat. Kalau anak bisa mulai menyanyi atau menuliskan huruf, secara instinctive orang tua akan berespons dengan memberikan penghargaan dan stimulasi lanjutan. Penghargaan bisa sesederhana pujian melalui penyampaian label “pandai” kepada sang anak yang biasanya diikuti dengan stimulasi untuk mengulangi kepandaiannya dan menambahkannya. Selanjutnya dalam sudut pandang anak, setiap kali ia menunjukkan “kepandaiannya”, ia sangat berharap untuk memperoleh umpan balik lagi dan lagi. Hal yang sama sekali tidak berbeda juga berlaku bagi anak-anak di sekolah dasar, lanjutan, dan orang dewasa.
Umpan balik tidak ubahnya adalah sebuah fitrah, sifat asal manusia, karena setiap orang memerlukan pendapat orang lain tentang apa saja karya dan perbuatannya, serta bagaimana usaha dan hasilnya. Orang ingin tahu apakah yang telah dilakukannya, dihasilkannya, sudah baik atau belum, sesuai harapan atau tidak, benar atau salah, bagaimana agar labih efektif dan efisien di kali mendatang, dsb.
Umpan balik yang membangun
Umpan balik merupakan rangkaian aktivitas yang penting untuk membantu anak didik mengembangkan diri secara maksimal sesuai dengan tahap pendidikan yang sedang dijalaninya. Kata pak Winston Churcill, kritik (baca: umpan balik) tak ubahnya adalah panggilan penting untuk memberi perhatian atas kondisi yang sedang tidak sehat; seperti permintaan pengobatan atas rasa nyeri dalam tubuh seorang penderita. Prof. Djohansjah Marzoeki, guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, melabel kritik sebagai sebuah tanda persabahatan.
Namun lebih dari itu, umpan balik haruslah bersifat membangun. Dia tidak destruktif, dan sebaliknya fasilitatif, mendorong untuk maju, berprestasi. Pemberian umpan balik dalam pendidikan kedokteran klinis lebih dari pantas bila disampaikan secara santun. Umpan balik harus disampaikan dalam nuansa saling percaya dan penuh perhatian, karena para dokter pendidik berfungsi sebagai pengasuh dan pelayan bagi anak didik yang akan menggantikan kiprah mereka di masa depan. Dokter pendidik klinis juga diminta untuk bersikap giving heart, sebagai layaknya orang tua dan sahabat, memberikan diri sepenuhnya bagi kemajuan anak didik. Di masa depan manakala para dokter pendidik klinis itu membutuhkan bantuan medis, mereka dapat memercayakan diri mereka kepada para mantan anak didiknya yang telah menjadi ahli dalam bidang mereka masing-masing. Pada gilirannya, para dokter sendiri lah yang akan membantu membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan kedokteran di dalam negeri melalui kepiawaiannya dalam mendidik dan memberikan umpan balik yang konstruktif.
Walaupun demikian, keterampilan memberikan umpan balik memang membutuhkan latihan dan latihan melalui kerja keras untuk menerapkannya dalam keseharian mendidik agar tampil santun dan mendorong kemajuan. Anak didik tidak diajak berjalan di belakang kita untuk belajar menjadi profesional, sebaliknya dibantu agar mereka berlari kencang. Umpan balik dalam pendidikan kedokteran tidak boleh ketinggalan dalam gaya yang konstruktif seperti para juri Indonesian idol. Berikut saduran umpan balik yang pernah disampaikan Ahmad Dani, “Bagaimana Anda bisa berada di posisi pada saat penonton tidak akan merasa nyaman kalau tidak menonton Anda menyanyi: Anda punya modal itu!” Sudah berapa seringtah para dokter pendidik klinis mengawali umpan balik dengan pujian yang disertai penjelasan? Pujian yang disertai penjelasan poin-poin bagus anak didik, niscaya, setidaknya diharapkan, akan membantu anak didik berlari, dan tidak berjalan kaki mengukur kecepatan proses belajar untuk menjadi profesional.
SELESAI
Theddeus O.H. Prasetyono