top of page

Pertemuan Ilmiah Nasional Dalam Bahasa Inggris: Sekedar “Gaya”?

Belum lagi pekerjaan rumah untuk membumikan budaya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar terselesaikan-melalui penggunaan ragam bahasa baku dalam kegiatan komunikasi resmi, wcana teknis, pembicaraan di depan umum, diskusi ilmiah, ceramah, dan kuliah(1)-, tiba-tiba judul tulisan ini muncul seakan-akan menggelitik nilai rasa dan kenyamanan kita. “Mau” dianggap “mentereng” melalui kemampuan berbahasa Inggris? Semoga tidak! Mari kita luangkan sedikit waktu untuk merenungkan apakah berbahasa Inggris itu memang bukan sekedar “gaya”.

Saya tidak membuat survei nasional untuk mengetahui berapa banyak dokter Indonesia yang sudah menjadi “langganan” diundang untuk berbicara di forum ilmiah internasional atau forum ilmiah nasional negara lain. Tentu kita dapat menyebut beberapa nama sesuai bidang keilmuan kita masing-masing. Namun besar kemungkinan jumlahnya tidak banyak. Barangkali survei termaksud dapat menjadi salah satu agenda IDI untuk memiliki data tentang dokter Indonesia yang sudah dapat menjadi international “opinion” leader. IDI akan memiliki data besaran anggotanya yang sudah memiliki international recognition. Dapat saya bayangkan bagaimana kebanggaan kelompok fisikawan Indonesia terhadap alm. Hans J. Wospakrik yang asli Indonesia dan berwarganegara Indonesia. Profesor Veltman, peraih hadiah nobel fisika pada tahun 1999, menulis: “Dari publikasinya … saya lihat dia betul-betul terus bekerja sebaik mungkin dalam teori partikel. Orang seperti Hans besar sekali nilainya buat negeri yang mulai memasuki komunitas riset dunia.”(2) Dunia kedokteran kita juga berbangga memiliki Profesor Sangkot Marzuki, sebagai salah satu contoh, yang tidak lain adalah pakar berkaliber internasional.

Hal yang setara dengan data tersebut di atas adalah data tulisan ilmiah dokter Indonesia yang sudah berhasil dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional tanpa harus mengelompokkannya ke dalam publikasi jurnal ilmiahbergengsi dengan impact factoryang tinggi. Bila data terakhir ini berhasil diperoleh, pengelompokan dapat dilakukan dengan hanya melihat daftar jurnal dengan impact factor tinggi dan jurnal bergengsi sesuai dengan bidang keilmuan penulisnya.

Singapura yang merupakan salah satu negara tujuan utama orang sakit dari Indonesia yang “luar negeri minded” memiliki jumlah dokter di semua bidang keilmuan yang jauh lebih sedkit daripada jumlah dokter Indonesia. Saya tidak perlu mencari datanya karena saya yakin sekali mengingat jumlah penduduknya yang lebih sedikit dan menempati wilayah negara yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Indonesia. Sebagai contoh, dokter spesialis bedah plastik di Singapura (32 orang anggota asosiasi ditambah 12 orang anggota kehormatan) yang berjumlah tidak lebih dari setengah jumlah dokter spesialis bedah plastik Indonesia (hingga akhir bulan Mei 2008 Indonesia memiliki 82 orang) memiliki beberapa nama yang internationally recognized. Sementara itu praktis belum ada padanannya dari Indonesia yang ternyata “hanya secara sporadis” menjadi pembicara di forum internasional. Bukan bermaksud mengecilkan, tetapi memang belum ada dokter kita yang menjadi international “opinion” leader. Salah satu kelebihan mereka adalah memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa nasional mereka. Tentu saja banyak faktor-faktor lain-termasuk riset, pendidikan, dan pelayanan yang tidak menjadi bahasan tulisan ini-yang menunjang keberadaan mereka sebagai kelompok dokter yang memiliki posisi penghargaan masyarakat kedokteran internasional. Semua delegasi ilmiah akan merasa nyaman datang mengikuti pertemuan di Singapura, antara lain karena tidak memiliki kesulitan berarti dalam hal berkomunikasi: bahasa Inggris.

Pertemuan ilmiah nasional yang menghadirkan pembicara asing selayaknya dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Memang benar sebagian pembicara asing juga berintensi ingin menikmati keindahan alam dan budaya kita dengan tidak mengikuti acara lain selain menyelesaikan tugasnya berbicara dalam sesi tertentu. Tetapi ada banyak sekali pembicara asing yang memiliki perhatian dan apresiasi tinggi terhadap seluruh proses belajar dan bertukar ilmu dan pengalaman dengan mengikuti semua sesi yang diminatinya. Orang-orang dengan dedikasi tinggi ini tidak pernah lupa tentang pepatah “ada langit di atas langit” dan “ilmu padi”. Bayangkan bila orang-orang pandai dan rendah hati seperti ini disuguhi acara temu ilmiah dalam bahasa nasional yang tidak mereka mengerti? Sebaliknya bila pertemuan nasional kita selenggarakan dalam nuansa internasional secara konsisten, “tak pelak” berita tentang nuansa internasional pertemuan nasional kita akan segera menyebar kepada sejawat di negara masing-masing pembicara luar negeri yang kita undang. Mereka itu juga menjadi penyebar berita baik tentang kualitas pertemuan kita kepada sejawat-sejawat dari negara-negara lain blagi ketika undangan kita itu berbincang-bincang di acara kekeluargaan dan persahabatan yang biasa menghiasi pertemuan ilmiah.

Pertemuan nasional dan internasional yang diselenggarakan oleh “penyelenggara nasional” akan sampai pada tahap bergengsi internasional dalam arti sesungguhnya bila diusahakan konsistensi dan eskalasi kualitasnya. Pada akhirnya pertemuan tersebut akan memiliki daya tarik bagi orang asing untuk datang mengikuti ajang temu ilmiah tersebut. Selain itu, Indonesia akan makin terkenal dengan kemampuan baik penyelenggaraan acara ilmiah internasional yang bergengsi. Dalam kondisi sebaliknya saya berikan ilustrasi tentang betapa menyedihkannya bila panitia diprotes oleh peserta dari luar negeri yang merasa rugi datang dari benua lain dan harus membayar untuk mengikuti pertemuan kita yang tidak berbahasa pengantar Inggris, walau itu hanya terjadi pada 1 atau 2 sesi karena pembicara Indonesia yang berbahasa Indonesia. Substansi yang menarik keingintahuan peserta tersebutlah yang membuatnya kecewa karena tidak dapat mengikuti diskusi yang ditangkapnya tampak “seru dan menarik”. Peserta yang kecewa ini hanya berhasil membaca isi presentasi melalui slides pembicara. Anda tentu akan setuju dengan saya bahwa kekecewaannya akan lebih dalam bila materi presentasi pembicara juga tidak tertulis dalam bahasa Inggris.

Karena bahasa Inggris bukan bahasa ibu bagi kita, sebenarnya sah-sah saja manakala kita berbicara tidak lancar. Kata dan kalimat penuntun dalam slides dapat disertai dengan kertas lembaran berisi penuntun kita berbicara. Saya percaya kita sering mengamati bagaimana pembicara dari Jepang yang berbicara dalam bahasa Inggris secara terbata-bata, namun menjadi lebih baik dengan tuntunan tulisan yang sudah disiapkan untuk dibaca sesuai urutan slides. Teknik presentasi ini akan dimaklumi oleh sejawat-sejawat dari negara berbahasa Inggris, terlebih lagi bila materi presentasi kita memang baik. “Ala bisa karena biasa” bukan sesuatu yang tergolong sebagai too good to be true. Makin sering kita melakukannya, akan makin baiklah presentasi kita.

Ilustrasi lain yang dapat saya kemukakan adalah bila pada saatnya, suatu saat ayang selayaknya tidak lama lagi, orang Indonesia dapat menjadi opinion leaders dan diundang untuk berbicara 1-2 topik atau lebih di luar negeri, di negara yang tidak berbahasa ibu Inggris. Dan di luar sesi wajib saat ia menjadi pembicara, ia harus menjadi “penonton” orang berbagi ilmu dan berdiskusi tanpa ia mengerti? Slides para penyaji pun bertuliskan huruf kanji. Apa enaknya? Jadi, marilah kita menjadi pelopor untuk menghargai para undangan dan peserta dari luar negeri dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat mengikuti dan berkontribusi dalam keseluruhan acara ilmiah kita.

Sebelum menutup tulisan ini dengan harapan, saya kembali menyoroti frase judul di atas: sekedar “gaya”? Mengapa berbahasa formal dalam forum temu ilmiah nasional berbahasa Inggris harus memperoleh sindiran sekedar “gaya” sementara tulisan ilmiah berbahasa Inggris dalam jurnal ilmiah nasional tidak memperoleh sindiran serupa? Terkesan bahwa oponen terhadap opini untuk berbahasa Inggris dalam forum temu ilmiah hanya bersikap sentimentil tanpa menilik misi positif didalamnya. Sikap oponen (yang notabene menguasai bahasa Inggris pasif dan “lumayan” aktif) akan tampil lebih terhormat dalam wujud penyampaian kritik agar temu ilmiah menjadi lebih baik dan maju dalam substansi ilmiah dan substansi berbahasanya. Tentu “mau tak mau” kita semua layak mengikuti aturan yang dibuat oleh penyelenggara: berbahasa Inggris. Tidak dapat dipungkiri bahwa segala sesuatu yang baik haruslah bersifat dinamis layaknya pepatah: time changes everything. Dulu berbahasa Indonesia saja sudah dapat membuat kita menjadi opinion leader, sekarang kita tidak dapat tampil baik dan menarik dengan berbahasa Inggris. Itu dulu, sekarang mari kita mewajibkan diri melalui upaya untuk belajar tambahan: belajar berbahasa Inggris untuk kebutuhan menuju international recognition.

Saya memang bermimpi seatu ketika Indonesia dapat memperoleh kelayakan di dunia internasional melalui tingginya kuantitas dan kualitas pembicara ilmiah berkaliber internasional yang berwargakenegaraan Indonesia. Sejalan dengan impian tersebut adalah impian tentang banyaknya tulisan ilmiah dalam terbitan ilmiah bergengsi internasional yang ditulis oleh pakar-pakar berkewarganegaraan Indonesia juga. Mulai sekarang saya kan memastikan langkah bersama-sama dengan Anda, sejawat senior dan sejawat muda, untuk menuju lebih dekat lagi ke impian saya itu. Tentu bila Anda berkenan. Setidaknya saya percaya generasi muda (mahasiswa kedokteran dan peserta program pendidikan dokter spesialis, magister, dan doktoral) yang berkualitas lebih tinggi dlam berbahsa Inggris daripada pendahulunya adalah penentu masa depan Indonesia.

Selamat merayakan 100 tahun kebangkitan nasional kita!

Theddeus O.H. Prasetyono

(Dipublikasikan ulang dengan izin dari Jurnal Ilmu Bedah Indonesia)

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page