Rekoleksi: Hubungan Dokter-Pasien
PENDAHULUAN
Kompetensi pertama dari tujuh area kompetensi dokter Indonesia yang disusun oleh Konsil Kedokteran Indonesia adalah komunikasi yang efektif. Area kompetensi komunikasi efektif merupakan area pertama yang harus dikuasai seorang dokter selain area 2) keterampilan klinis, 3) landasan ilmiah ilmu kedokteran, 4) pengelolaan masalah kesehatan, 5) pengelolaan informasi, 6) mawas diri dan pengembangan diri, 7) etika, moral, medikolegal dan profesionalisme, serta keselamatan pasien.[1] Penempatan kompetensi pertama ini cukup unik karena dengan demikian dokter Indonesia diminta untuk menyadari bahwa keterampilan berkomunikasi efektif mutlak harus dikuasai layaknya keterampilan melakukan operasi usus buntu yang meradang bagi seorang dokter bedah umum. Keterampilan berkomunikasi efektif ini sebenarnya merupakan keterampilan generik yang dimiliki oleh setiap insan manusia yang secara natural dituntut untuk berinteraksi melalui komunikasi dengan sesama manusia dalam kehidupannya. Namun yang perlu diberi perhatian lebih adalah esensi “efektif” dalam komunikasi.
Ada berapa banyak dokter “made in” Indonesia yang sudah dinobatkan memiliki kompetensi komunikasi efektif? Semua pusat pendidikan penghasil dokter di Indonesia akan dengan sigap menyatakan bahwa 100% dokter lulusannya telah memiliki kompetensi tersebut. Jawaban 100% merupakan jawaban yang menantang refleksi masing-masing pusat pendidikan karena bila ada satu lulusan saja yang mengurangi pengabsolutan angka 100% akan berdampak dengan dipertanyakannya kredibilitas pusat pendidikan dokter tersebut. Alasan logisnya adalah penempatan komunikasi efektif di urutan pertama kompetensi dokter Indonesia. Dalam rangkaian praktis klinis, komunikasi efektif sangat penting untuk pekerjaan menolong pasien yang terformulasi dalam frasa “hubungan dokter-pasien.” Penobatan dokter yang memiliki kompetensi keterampilan komunikasi efektif ini selayaknya memerlukan sudut pandang pasien dan masyarakat awam sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan oleh dokter. Berapa banyak dokter yang dapat dimengerti oleh pasien dan masyarakat awam ketika ia harus menjelaskan penyakit dan berbagai kondisi ikutan beserta terapi dan prognosisnya?
PROBLEMATIKA KOMUNIKASI SEBAGAI SEBUAH GENERIC SKILL
Diskusi bab ini akan diawali dengan ilustrasi kasus untuk digunakan dalam membahas komunikasi sebagai sebuah generic skill yang dimiliki dokter. Penyebutan jenis keahlian para dokter dalam ilustrasi kasus-kasus berikut ini tidak dimaksudkan untuk memojokkan profesi keahlian para dokter, melainkan semata-mata sebagai contoh ilustrasi. Ketiga kasus yang ditampilkan berikut ini memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda bila dipandang dari sudut area komunikasi efektif dan integrasinya dengan area kompetensi yang lain.
Ilustrasi Kasus 1
Seorang dokter spesialis kebidanan yang bersuamikan dokter spesialis bedah membawa bayi pertamanya yang berusia satu bulan ke poliklinik untuk dievaluasi oleh sejawat dokter spesialis anak. Dalam beberapa menit evaluasi pertumbuhan dan keadaan umum selesai dilakukan dan selanjutnya diikuti dengan pemberian imunisasi BCG. Beberapa hari setelah kontol di bulan depannya, sang ibu mendapati timbulnya abses kecil di paha bayinya. Spontan saja ia bereaksi dengan melakukan drenase abses kecil tersebut. Abses sembuh dan berakhir dengan parut tanpa disertai komplikasi berarti. Beberapa minggu kemudian ketika ia membaca sebuah jurnal semipopuler, ia tersenyum kecut saat matanya tertumbuk kepada artikel yang menjelaskan bahwa pascaimunisasi BCG akan ditandai dengan munculnya abses kecil di bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Kekhawatiran ibu tentang berbagai kemungkinan penyebab seperti infeksi banal ringan pada kulit atau kekurangan perawatannya sendiri terhadap bayinya terjawab sudah.
Diskusi Kasus 1
Seandainya prognosis atau lebih tepat natural history jangka pendek imunisasi BCG diberitahukan oleh dokter spesialis anak, barangkali sang dokter spesialis kebidanan yang sudah lama tidak mengikuti praktik keilmuan dasar pediatrik tersebut tidak perlu mengalami kekecewaan. Kondisi senada tidak perlu terjadi bila dokter memberitahukan kepada orang tua bayi yang diberi suntikan imunisasi Hib (catatan: walaupun belum merupakan singkatan lazim, sengaja ditulis tanpa kepanjangannya untuk menambah makna kalimat) yang diberikan tanpa penjelasan. Ada berapa banyak dokter yang sudah ketinggalan pengetahuan tentang imunisasi Hib yang bukan merupakan imunisasi wajib tersebut? Pasangan dokter spesialis di atas pun tidak mengetahui.
Dokter kasus pertama ini berhadapan dengan orang tua bayi yang juga dokter spesialis yang bila kasusnya diikuti dengan seksama tidak sampai menimbulkan dampak konflik antara dokter dan orang tua pasien. Kegetiran yang dialami orang tua bayi beranjak dari persoalan sederhana yakni tidak diketahuinya perjalanan jangka pendek hasil suntikan BCG yang dalam perspektif orang tua seharusnya mereka memperoleh penjelasan mengingat kemungkinan potensi abses yang dapat berdampak infeksi meluas lokal dengan akibat lanjut timbulnya parut jelek yang dapat dihindari. Barangkali dokter beranggapan bahwa orang tua pasien yang juga dokter telah mengetahui natural historysuntikan BCG. Dokter berestimasi lebih (overestimated) tentang pengetahuan orang tua pasien semata-mata karena mereka juga dokter. Kemampuan dokter untuk memberikan penjelasan dan informasi sebagai bagian komponen inti area kompetensi komunikasi efektif perlu dilakukan lebih baik.
Ilustrasi Kasus 2
Seorang ibu hamil trimester pertama dirawat di rumah sakit karena mengalami emesis gravidarum yang hebat sehingga mengalami kekurangan asupan cairan dan kalori, serta kehilangan berat badan secara drastis. Riwayat gastritis kronis menyebabkan dokter spesialis kebidanan yang merawatnya meminta pendapat dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi. Setelah melalui pemeriksaan singkat, dokter spesialis konsultan ini pun memutuskan untuk melakukan pemerikasaan gastroskopi. Dilema kehamilan trimester pertama membuat dokter memutuskan untuk melakukan tindakan endoskopis tersebut dengan anestesi lokal yang mengandalkan anesthetic spray untuk area faring. Tindakan endoskopi dicoba dilakukan sampai tiga kali namun gagal karena pasien dinyatakan “tidak kooperatif.” Dokter konsultan yang sudah mulai berkeringat ini mulai “memarahi” pasien yang sudah bersimbah keringat dan muntahan dan bahkan menepuk-nepuk lengan atas pasien berulang kali sambil melakukan persuasi dengan suara keras untuk memintanya menurut saja dengan apa yang ia lakukan. Pasien menangis dan pada akhirnya suaminya menyatakan ketidaksanggupan istri menjalani ulangan sesi coba pemeriksaan gastroskopi tersebut. Pemeriksaan tidak dilanjutkan dan diagnosis kecurigaan ulkus di lambung dilupakan hingga pasien keluar dari rumah sakit.
Diskusi Kasus 2
Terlepas dari justifikasi ilmiah tindakan gastroskopi untuk pasien yang mengalami hiperemesis gravidarum yang hebat dengan riwayat gastritis kronis, kondisi di atas seolah wajar terjadi ketika sebuah tindakan sulit untuk dilakukan. Dari sudut pandang dokter, ia bekerja dengan intensi menolong pasien yang sedang mengalami gangguan intake kalori, protein, dan cairan. Namun kewajaran tersebut layak untuk dicermati lebih dalam dan tidak dengan mudah memberi label pasien “tidak kooperatif.” Komunikasi yang tidak efektif terjadi ketika kesulitan untuk melakukan tindakan intervensif mengalami kegagalan dan dokter mulai tidak sabar serta melakukan persuasi dengan kasar. Saat situasi sudah tidak nyaman bagi pasien, maka persuasi justru seharusnya dilakukan dengan sabar. Pasien merasakan ketidaknyamanan yang selayaknya dipahami dengan empati yang proporsional ketika tabung pipa endoskopi memasuki faring dan esofagus tanpa bantuan sedasi. Dalam kondisi hiperemesis yang hebat, mual dan muntah sudah terjadi spontan dan berkepanjangan.
Ilustrasi Kasus 3
Anak laki-laki berusia 10 tahun, menderita demam tinggi sejak 3 hari di rumah sebelum pada akhirnya dibawa berobat ke rumah sakit dan dirawat inap. Satu minggu sebelum menderita panas ia menjalani sirkumsisi. Demam yang tinggi disertai delirium dengan hasil pemeriksaan trombosit yang masih 140.000 belum mengantarkan dokter spesialis anak yang merawat kepada diagnosis DBD. Antibiotik parenteral dan antipiretik diberikan sebagai terapi terhadap diagnosis “suspek infeksi pascasirkumsisi.” Sebenarnya luka sirkumsisi tidak hiperemis walaupun terdapat edema sebagai bagian normal penyembuhan luka sirkumsisi. Esok harinya barulah diagnosis DBD ditegakkan setelah dijumpai penurunan trombosit yang progresif. Orang tua bertanya-tanya mengapa antibiotik yang mahal masih juga diberikan? Tanpa disertai penjelasan, pemberian antibiotik baru dihentikan keesokan harinya. Ketika terdapat epistaksis ringan, dokter meminta dokter spesialis THT datang untuk mengevaluasi pasien. Sang dokter spesialis THT tidak menemukan kelainan anatomis yang memerlukan intervensi namun memberikan keterangan tentang kemungkinan terdapat kelainan di sumsum tulang belakang anak demi melihat data jumlah lekosit yang rendah. “Nanti akan diberitahukan kepada dokter spesialis anak konsultan hematologi,” jelasnya. Perkembangan ini membuat orang tua anak menangis dan gelisah. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kelainan darah yang bersumber dari sumsum tulang belakang hingga anak mengalami perdarahan di bekas luka sirkumsisi justru pada saat jumlah trombosit beranjak naik dari 46.000/mm3 menjadi 86.000/mm3. Pada kondisi terakhir ini dokter memutuskan untuk memberikan transfusi trombosit dan plasma (FFP) serta meminta dokter spesialis bedah untuk mengevaluasi perdarahan di luka bekas sirkumsisi. Dokter spesialis bedah menyatakan akan melakukan operasi kecil untuk menghentikan perdarahan. Dalam situasi tersebut, orang tua menjadi bingung dan khawatir dengan keputusan para dokter yang mendua. Perdarahan yang terakhir ini tidak disertai penjelasan apakah disebabkan oleh kondisi non-bedah (pada saat trombosit beranjak naik) atau kondisi bedah. Kedua kutub dokter bedah dan non-bedah mengambil sikap bersama-sama melakukan intervensi. Orang tua yang mengalami kekhawatiran berlebihan meminta pendapat sahabatnya, seorang dokter, tentang rencana memindahkan perawatan anaknya ke rumah sakit lain.
Diskusi Kasus 3
Kasus ketiga merupakan sebuah kasus dalam clinical setting yang lebih kompleks. Penyakit DBD merupakan penyakit endemis di Indonesia dan sudah banyak sekali diterangkan kepada masyarakat oleh pemerintah maupun organisasi profesi dan individu para dokter melalui media populer. Namun kompleksitas kasusnya tidak mudah untuk dipahami oleh awam. Epistaksis merupakan komplikasi lazim DBD sehingga kejadian epistaksis ringan mungkin tidak memerlukan rujukan kepada dokter spesialis THT yang dalam sudut pandang pasien dapat mengakibatkan bertambahnya beban biaya yang harus dibayarnya. Seharusnya dokter anak dapat merawatnya tanpa kesulitan berarti. Namun demikian dalam skenario di atas, orang tua yang khawatir berlebihan akan dengan mudah menyetujui rencana dokter untuk meminta konsultasi kepada dokter spesialis THT. Yang membingungkan orang tua adalah ketika dokter THT tidak menemukan kelainan pada hidung pasien, justru orang tua menerima keterangan tentang kelainan sumsum tulang belakang yang meningkatkan ketegangan mereka. Apakah mungkin anak mereka juga menderita leukemia?
Orang tua yang berpengetahuan dan bersikap kritis akan mulai terkesan “tidak kooperatif” dalam sudut pandang dokter. Mereka mulai mempertanyakan mengapa antibiotik masih diberikan ketika diagnosis DBD sudah ditegakkan? Sebaliknya apakah antibiotik dengan mudah dihentikan pada saat kondisi bengkak luka sirkumsisi masih ada terkait diagnosis “infeksi pascasirkumsisi”? Apakah benar kondisi demam yang dialami anak disertai dengan penurunan jumlah trombosit dapat disertai munculnya gangguan sumsum tulang belakang dengan adanya leukopenia? Dalam hal ini orang tua sebenarnya bersikap mempertanyakan rasionalitas diagnosis dan terapi yang diberikan oleh dokter. Keterampilan berkomunikasi efektif harus diintegrasikan dalam praktik bersamaan dengan clinical reasoning dalam area kompetensi landasan ilmiah ilmu kedokteran.
Keputusan dilematis harus dibuat oleh orang tua yang cemas dan bingung manakala mereka memperoleh keterangan bahwa anaknya harus dibedah (walaupun berupa bedah ringan untuk mengeksplorasi luka bekas sirkumsisi) sekaligus menerima transfusi trombosit dan plasma. Mereka berpikir kritis dan mempertanyakan bagaimana bila pembedahan justru mengakibatkan perdarahan yang sulit berhenti. Mengapa transfusi harus diberikan ketika jumlah trombosit justru sedang meningkat bermakna? Perdarahan terjadi karena gangguan sistem pembekuan darah, tetapi mengapa justru akan dibuat luka lagi melalui pembedahan? Dalam situasi yang agak kompleks demikian, penjelasan haruslah dibuat melalui komunikasi antar dokter dalam tim yang merawat pasien dan diformulasikan dengan penyampaian secara sederhana kepada orang tua. Para dokter spesialis yang tidak saling bertemu muka tersebut selayaknya berkomunikasi dan bersepakat untuk menyampaikan formulasi penjelasan. Komunikasi antar dokter dapat dilakukan melalui telepon dan kesepakatan mereka dituangkan dalam surat komunikasi antar sejawat. Formulasi penjelasan kepada orang tua pasien dapat ditambahkan dengan singkat bahwa tindakan pembedahan untuk menghentikan perdarahan akan dilakukan bila gangguan proses pembekuan darah sudah teratasi. Dalam kondisi jumlah trombosit yang sedang meningkat, gangguan pembekuan darah dapat terjadi mengingat adanya kekurangan faktor-faktor lain yang dibutuhkan dalam proses pembekuan darah. Transfusi plasma diberikan untuk mengatasi keadaan tersebut.
Kasus ketiga ini merupakan kasus yang kompleks dan terkesan sulit. Kompleksitas kasus ini berpotensi untuk mengundang konflik antara dokter dan orang tua pasien. Kemampuan untuk berkomunikasi efektif meliputi komunikasi antara dokter dengan pasien dan orang tuanya, serta antara dokter dengan sejawatnya. Keterampilan berkomunikasi tersebut harus terintegrasi dengan keterampilan penguasaan landasan ilmiah ilmu kedokteran yang didalamnya meliputi kompetensi inti penerapan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedis, klinis, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat; serta kompetensi inti kemampuan merangkum interpretasi anamnesis, pemeriksaan klinis dan uji laboratorium, dan prosedur yang sesuai. Dalam hal komunikasi dengan sejawat multidisiplin yang bersama-sama merawat seorang pasien, setiap dokter diharuskan untuk selalu berkomunikasi dengan sejawat lain, baik lisan maupun tertulis, dengan mempertimbangkan pemahaman perspektif pasien dan keluarganya. Pemberian keputusan terapi tidak layak terjadi tanpa mempertimbangkan pendapat terapi sejawat lainnya. Tidak ada lagi pasien yang menerima terapi sepuluh atau lebih macam obat dari tiga orang dokter yang tidak saling mau tahu terapi yang sudah diberikan oleh sejawatnya. Dokter juga harus menghargai sejawatnya melalui penempatan nilai kolegialitas setinggi-tingginya.[2]
Sebaliknya kompleksitas komunikasi efektif yang terintegrasi dengan keterampilan penguasaan landasan ilmiah ilmu kedokteran tidak mudah dipahami oleh awam ketika terjadi konflik antara dokter (beserta tim dan atau rumah sakit).dan pasien. Bila terdapat dugaan pelanggaran di ranah etika maupun disiplin, maka selayaknya penyelidikan dilakukan oleh tim dari profesi dokter juga dan bukannya diadili oleh orang dari kalangan awam. Berikut ini adalah sebuah ilustrasi analogis pendek: bila ada seorang anggota militer yang tidak menyemir sepatu dan tidak menggosok logam-logam tanda pangkat dan kepala ikat pinggangnya hingga tampil tidak mengkilap (kusam) dan memberi kesan kusat mesat setiap kali pada saat upacara, anggota militer tersebut dapat diduga melakukan pelanggaran disiplin. Siapatah yang harus melakukan penyelidikan dan memberikan keputusan atas dugaan pelanggaran disiplin anggota militer tersebut? Bila ia tidak melakukan yang seharusnya dilakukan dalam aturan militer, siapatah yang harus melakukan penilaian?
KOMUNIKASI TIDAK TERPISAH DARI KEMAMPUAN BERBAHASA
Di dalam situasi internal dalam keluarga atau dalam perbincangan informal misalnya, orang memperbincangkan dokter yang menjadi rujukan masyarakat karena kemampuannya yang superior dalam memberikan penjelasan tentang diagnosis dan terapi sehingga dapat memberikan ketenangan kepada pasien dan keluarga. Tentu saja juga karena dokter tersebut “bertangan dingin.” Sebaliknya cukup sering kita jumpai dokter yang tidak jelas dalam menyampaikan penjelasan tentang kondisi pasien atau rencana terapi yang akan diberikannya.
Unik bahwa ada dokter yang memberikan penjelasan secara tidak jelas. Seharusnya hal berkomunikasi yang dilakukan secara lisan dapat dilakukan dengan lebih baik daripada komunikasi secara tertulis. Apakah bahasa yang digunakan sulit dipahami oleh pasien? Memang benar bahwa kemampuan berkomunikasi tidak terlepas dari kemampuan berbahasa, namun dalam komunikasi lisan terdapat banyak pendukung bagi pelaku komunikasi dengan adanya ekspresi wajah, gerak-gerik anggota tubuh, dan intonasi ucapan pengujarnya.3 Karena semua faktor tersebut tidak pernah dapat ditemui dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa tulis, maka seharusnya komunikasi dalam bahasa lisan lebih mudah untuk dilaksanakan dan dipahami.
Dalam kebutuhan berbahasa tulis, ragam bahasa yang seharusnya digunakan adalah ragam bahasa baku atau bahasa standar. Apa yang ditulis seharusnya dapat membawa pesan secara utuh tentang apa yang dimaksudkan atau dipahami oleh penulisnya.[3] Ragam bahasa baku ini meliputi juga komunikasi dalam bahasa tulis kepada pihak asuransi ketika dokter harus mengisi lembar formulir klaim asuransi, kepada penegak hukum atau ketika dokter harus menjadi saksi ahli, serta juga kepada masyarakat melalui berbagai kesempatan seperti edukasi dalam media populer. Dalam konteks berkomunikasi dengan sejawat dokter, maka ragam bahasa baku tersebut tentu mengikuti wacana teknis bahasa kedokteran. Hal yang harus dilatih oleh dokter sejak dalam masa pendidikan adalah ketika menulis surat rujukan yang disertai laporan penanganan pasien yang seharusnya ditulis dengan jelas, benar, dan lengkap walaupun ringkas.
Di dalam naskah Standar Kompetensi Dokter yang disusun oleh Konsil Kedokteran Indonesia,1 tidak tertera penjelasan kata “efektif” untuk “komunikasi efektif.” Area kompetensi inti komunikasi efektif disebutkan sebagai kemampuan menggali dan bertukar informasi secara verbal dan non-verbal dengan pasien pada semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega, dan profesi lain.[1,4] Kompetensi inti tersebut memiliki komponen kompetensi yang disertai dengan penjabaran kompetensi. Komponen kompetensi komunikasi efektif meliputi 4 hal yaitu 1) berkomunikasi dengan pasien serta anggota keluarganya, 2) berkomunikasi dengan sejawat, 3) berkomunikasi dengan masyarakat, dan 4) berkomunikasi dengan profesi lain. Sementara penjabaran komponen berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya meliputi beberapa aspek yaitu bersambung rasa seperti menunjukkan sikap empati dan dapat dipercaya, mendengarkan dengan aktif dan bukan mendengar saja yang juga terkait dengan memberikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menyampaikan keluhan dan pandangannya, memelihara dan menjaga harga diri pasien, serta memperlakukan pasien sebagai mitra sejajar dalam penyelesaian masalah kesehatan pasien. Aspek lain dalam penjabaran komponen komunikasi efektif ini meliputi juga kemampuan mengumpulkan informasi melalui keterampilan anamnesis yang sekaligus memanfaatkan clinical reasoning. Dua pokok penjabaran yang lain adalah memahami perspektif pasien, dan kemampuan memberikan penjelasan dan informasi.[1]
Apa esensi “efektif” dalam kompetensi “komunikasi efektif”? Menurut WHO Competency Model[5] yang bukan ditujukan kepada seorang dokter melainkan seluruh officer WHO, komunikasi yang efektif dan kredibel adalah expresses oneself clearly in conversations and interactions with others; listens actively; di dalamnya juga termasuk kemampuan berkomunikasi secara tertulis. Dalam komunikasi efektif secara lisan, pada hakikatnya penutur sebagai pelaku komunikasi harus dapat memastikan bahwa informasi yang disampaikannya dapat dimengerti dengan baik oleh penerima informasi. Dalam wacana teknis komunikasi berbahasa tulis, informasi akan mudah dipahami bila penulisnya mengunakan bahasa baku yang baik dan benar sesuai bidang keilmuan kedokteran. Konsep yang tertuang di dalam bahasa tulis menggambarkan konsep abstraksi yang ada di dalam benak penulisnya dan dapat dimengerti oleh penerima komunikasi tertulis sehingga si penerima memiliki konsep yang sama persis dengan apa yang disampaikan oleh penyampainya.
Sebenarnya dan sejujurnya, komunikasi lisan antara dokter dan pasien dalam konteks tertulis maupun lisan tidak pernah dapat mencapai kesempurnaan equality seperti komunikasi dalam wacana teknis antar dokter. Penyebabnya sudah kita ketahui bersama yaitu adanya kesenjangan antara ilmu kedokteran yang dimiliki oleh dokter dan pasien yang memiliki pengetahuan kedokteran populer yang terbatas.
Berikut adalah sebuah contoh bagaimana penjelasan dilakukan oleh dokter kepada pasien yang awam sama sekali tentang ilmu kedokteran. Uraian yang disajikan belumlah lengkap menggambarkan upaya untuk menjelaskan seluruh aspek teknis dan non-teknis kepada pasien dan keluarganya. Seorang dokter spesialis bedah plastik akan cukup mengalami situasi yang menantang ketika ia harus menerangkan sebuah tindakan free flap yang memerlukan teknik microsurgery dalam pemanfaatan jaringan tubuh pasien yang ditransfer untuk digunakan sebagai materi rekonstruksi kecacatan bagian tertentu tubuh pasien. Misalnya ketika ia harus menerangkan rekonstruksi kecacatan berupa kontraktur leher akibat luka bakar di masa lalu; dokter harus menerangkan bahwa pelepasan jeratan jaringan parut yang membuat dagu pasien terlekat kuat ke dadanya akan mengakibatkan sebuah “danau luka yang luas.” Danau luka yang luas tersebut memerlukan “baju penutup” berupa kulit atau jaringan tubuh beserta kulit. Penutup berupa transplantasi atau tandur alih kulit tipis saja (baca: skin graft) dapat dilakukan namun harus disertai dengan pemakaian alat penahan di leher selama setidaknya 3-6 bulan pascaoperasi, selain tentu saja kemungkinan komplikasi berupa kegagalan transplantasi kulit beserta konsekuensinya dan komplikasi-komplikasi umum yang lain. Transplantasi kulit tipis memiliki kemungkinan terjadinya efek penarikan yang mengakibatkan kembalinya kesulitan pasien untuk menengadah. Pilihan teknik lain adalah pilihan yang lebih canggih dengan melakukan pemindahan jaringan kulit beserta lapisan tebal lemak di bawahnya untuk dipindahkan ke luka di leher. Sebuah ”pulau” jaringan kulit dan lemak dari bagian tertentu, misalnya paha, akan diambil beserta pembuluh darah nadi dan pembuluh darah balik yang memberikan kehidupan kepada “pulau” jaringan tersebut. Selanjutnya “pulau” ditransfer ke luka luas di leher dan dijahitkan dengan juga disertai penyambungan kedua jenis pembuluh darahnya ke pembuluh darah yang bersesuaian di leher. Pembuluh nadi disambung dengan pembuluh nadi, demikian juga pembuluh balik dengan pembuluh balik.
Penyambungan pembuluh darah berukuran sangat kecil tersebut memerlukan operasi di bawah mikroskop atau kaca pembesar. Operasi dapat memerlukan waktu lebih dari 5-6 jam. Aliran darah hasil penyambungan pembuluh darah dapat saja mengalami kegagalan sehingga setiap saat pada masa kritis 5 hari pertama pascaoperasi pasien mungkin perlu dibawa kembali ke kamar operasi untuk perbaikan aliran darah yang terganggu tersebut. Selain berbagai komplikasi umum yang dapat terjadi, sambungan pembuluh darah mungkin tidak berhasil menghidupi “pulau” jaringan yang akan berakibat dengan dibuangnya seluruh “pulau” tersebut. Sebaliknya keunggulan teknik operasi ini adalah keberhasilannya untuk tidak disertai dengan kejadian penarikan yang mengakibatkan kembalinya kesulitan pasien untuk menengadah. Selain tidak memerlukan pemakaian alat penahan sampai 3- 6 bulan, hasil operasi dengan teknik bedah mikro ini lebih baik secara estetis.
Setelah mengikuti ilustrasi contoh kasus di atas, dapat kita bayangkan tingkat kesulitan yang membutuhkan kepiawaian dokter untuk bisa berkomunikasi secara efektif kepada pasien dan anggota keluarganya. Kesulitan dokter dalam menjelaskan rencana terapi di atas akan sangat tertolong bila dokter menyiapkan serangkaian gambar-gambar skematis untuk membantu memudahkan pasien dalam memahami penjelasan dokter. Alat peraga berupa gambar bergerak dengan teknik animasi juga akan sangat membantu pemahaman oleh pasien dan anggota keluarganya. Hanya dalam keadaan pasien menghendaki, gambar-gambar contoh kondisi operasi sebenarnya dapat dipergunakan.
Selain kesulitan spesifik seperti yang sudah dibahas di atas, setiap jenis tindakan dalam semua bidang keilmuan memiliki keunikan dan kompleksitas masing-masing. Pengetahuan dalam bidang bedah tertentu belum tentu dipahami dengan baik bahkan oleh dokter bedah juga dengan spesifikasi keahlian yang berbeda.[6] Tingkat kecanggihan teknis tersebut tidak pernah akan dapat mencapai tingkat sepadan dalam komunikasi dokter-pasien. Namun demikian, upaya penjelasan sebaik-baiknya tetap harus selalu diupayakan oleh setiap dokter dalam tugasnya menolong pasien. Kekurangan-kekurangan teknis yang dapat saja terjadi terkait dengan kejadian komplikasi yang potensial mengundang masalah medikolegal, tidak akan pernah dapat dipahami dengan baik dan sepadan tingkatannya oleh awam, bahkan juga oleh kolega dokter yang berasal dari bidang keilmuan yang berbeda.6 Upaya untuk menjelaskan teknik kedokteran perlu dilakukan oleh para dokter dan organisasi profesi melalui berbagai media populer[7,8] sebagai bagian untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan masyarakat. Pada akhirnya kompetensi yang harus dimiliki oleh individu dokter haruslah mengikuti definisinya sebagai berikut habitual and judicious use of communication, knowledge, technical skills, clinical reasoning, emotions, values and reflection in daily practice for the benefit of the individual and community being served.[9] Kompetensi dalam area komunikasi efektif niscaya membutuhkan learning curve yang harus terus menerus diupayakan oleh setiap dokter dalam praktik klinis.
KEPRIBADIAN, BUDAYA, DAN TINGKAT PENDIDIKAN
Di bagian akhir bahasan hubungan dokter-pasien ini kita perlu juga menggali pemahaman lebih lanjut perihal kemampuan berkomunikasi yang juga sangat dipengaruhi oleh kepribadian sesorang. Di atas telah disebut tentang dokter yang tidak dapat dipahami maksudnya ketika berbicara dan memberikan kuliah atau memberikan penjelasan teknis medis kepada pasien. Seorang dokter yang berkepribadian tertutup dan bersifat pendiam, seringkali irit dalam berkata-kata; bahkan terlalu hemat. Dokter tidak memberikan keterangan bila tidak ditanya oleh pasien, sementara pasien seringkali tidak tahu harus bertanya tentang apa. Faktor kepribadian juga sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seorang dokter dalam menunjukkan kompetensi berkomunikasi efektif. Dengan demikian wajar bila latihan untuk berkomunikasi efektif memiliki porsi yang cukup dalam proses pendidikan klinis seorang dokter.
Sejak lama telah diketahui bahwa budaya yang berbeda antar pelaku komunikasi dapat menimbulkan kesalahmengertian antar pihak mengingat banyaknya faktor yang terlibat dalam budaya.6 Budaya merujuk kepada pola terintegrasi perilaku manusia yang meliputi bahasa, pemikiran, tindak tanduk, kebiasaan, kepercayaan, kelompok berdasarkan ras, etnis, sosial, dan agama.[10] Pelayanan kesehatan kepada pasien sebagai individu juga harus disertai perhatian dan pemahaman akan budaya pasien. Contoh: operasi elektif tidak dapat dipaksakan di hari Selasa bila pasien dan keluarganya meyakini bahwa hari Selasa bukanlah hari baik bagi mereka untuk menjalani operasi. Contoh lain di Tiworo Kepulauan, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, seorang dokter tidak selayaknya marah ketika keluarga pasien tiba-tiba menaburkan beras yang mencemari lapangan operasi penjahitan luka episiotomi pascapersalinan karena taburan beras itu merupakan ungkapan rasa syukur segera kepada Tuhan bagi mereka.
Kompleksitas budaya menjadi makin jelas ketika digabungkan dengan faktor tingkat pendidikan. Bayangkan kesulitan komunikasi yang dihadapi seorang dokter ketika menghadapi pasien yang berasal dari suku Irian berpendidikan diploma, suku Jawa berpendidikan SMA, suku Batak bergelar master dalam bidang engineering, bangsa Korea dengan pendidikan doktor, ras Afrika berpendidikan setingkat SMA, dsb. Namun terlepas dari kompleksitas kepribadian, budaya, dan pendidikan, pada dasarnya dokter tetap dituntut untuk mampu mengenali semua faktor berpengaruh yang terintegrasi dalam budaya dan juga latar belakang pendidikan masing-masing pasien dengan menempatkan keutamaan diri pasien dan keluarga (patient/ family-centered care). Tujuan pertolongan pengobatan bagi pasien harus diupayakan sekuat tenaga melalui upaya komunikasi efektif. Beberapa contoh tolok ukur keberhasilan berkomunikasi efektif dalam hubungan dokter-pasien adalah sebagai berikut: pasien merasa dokter menjelaskan keadaaannya sesuai tujuannya berobat, pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi penyakit yang dideritanya, pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami keterbatasan kemampuannya, serta pasien mau bekerja sama dengan dokter dalam menjalankan semua upaya pengobatan/ perawatan kesehatannya.[4]
(Dipublikasikan ulang dengan izin dari Ethical Digest)
Daftar Pustaka:
Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.
Prasetyono TOH (editorial). Ganglion dan Hipocrates. J I Bedah Indones. 2005;33:vii-viii.
Prasetyono TOH. Berbahasa tulis dengan baik: pengantar menulis karya tulis ilmiah. Jakarta: EGC; 2007.
Ali MM, Sidi IPS, Zahir H, editors. Komunikasi efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.
WHO. WHO global competency model. [Online]. 2009 [cited 2009 July 24]; [1 screen]. Available from: URL: http://www.who.int/employment/competencies/en/
Prasetyono TOH (editorial). Pak Cilik Anteng: sekelumit kisah tentang sandal jepit. J I Bedah Indones. 2004;32:vii-viii.
Prasetyono TOH. Merekonstruksi rahang bawah korban bom. Kompas. 2003 Aug 8. [cited 2009 July 27]. Available from: URL: http://perapisurgeon.org/artikel_view.asp?id=10
Prasetyono TOH. Bedah mikro memberi harapan pada korban amputasi traumatika dan pernderita mutilasi karena kanker. Kompas. 2003 May 2. [cited 2009 July 27]. Available from: URL: http://perapisurgeon.org/artikel_view.asp?id=9
Epstein RM, Hundert EM. Defining and assessing professional competence. JAMA. 2002; 287: 226-36.
Association of American Medical Colleges. Cultural competence education. Washington D.C.: AAMC; 2005.